Salah satu program
yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari implementasi kurikulum merdeka
adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Ada 6 (enam) dimensi
yang dijadikan sebagai penjabaran P5, yaitu:
1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan berakhlak mulia,
2) mandiri,
3) bergotong-royong,
4) berkebinekaan global,
5) bernalar kritis, dan
6) kreatif.
Hal tersebut diatur
dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP)
Kemendikbudristek nomor 009/H/KR/2022 tentang Dimensi, Elemen, dan Subelemen
Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum Merdeka.
Selain keenam dimensi tersebut, sejalan dengan
kemerdekaan yang diberikan, satuan pendidikan atau guru dapat mengembangkan
dimensi yang lainnya disesuaikan dengan konteks, karakter, dan kondisi satuan
pendidikan mengingat beragamnya karakteristik setiap satuan pendidikan.
Sekolah dapat mengalokasikan 20-30% jam
pelajaran untuk pelaksanaan P5. Program ini bersifat kokurikuler, terpisah dari
kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Dalam satu semester, satuan
pendidikan minimal memilih satu tema untuk dilaksanakan.
Tema yang bisa dipilih untuk PAUD ada 4
(empat), yaitu;
(1) Aku Sayang Bumi,
(2) Aku Cinta Indonesia,
(3) Bermain dan Bekerjasama/ Kita Semua
Bersaudara, dan
(4) Imajinasiku/Imajinasi dan Kreativitasku.
Pada
jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK, ada 8 (delapan) tema, yaitu;
(1) Gaya Hidup Berkelanjutan,
(2)
Kearifan Lokal,
(3) Bhinneka Tunggal Ika,
(4)
Bangunlah Jiwa dan Raganya,
(5) Suara Demokrasi,
(6) Rekayasa dan Teknologi,
(7) Kewirausahaan (jenjang SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA, dan sederajat), dan
(8)
Kebekerjaan (khusus SMK).
Poin utama P5 adalah pendidikan karakter
bangsa dengan berdasarkan Pancasila. Melalui P5 diharapkan muncul generasi
bangsa yang mengetahui, memahami, mengimplementasikan, dan melestarikan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
negara, ideologi, dan falsafah/pandangan hidup menjadi ruh, motivasi,
inspirasi, sekaligus energi dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Kegiatan P5 di satuan pendidikan dilakukan
melalui berbagai kegiatan atau disebut proyek yang merupakan penjabaran
dimensi, elemen, dan subelemen Pelajar Pancasila.
Walau demikian, pada praktiknya satuan
pendidikan atau guru jangan sampai salah memahami konsep atau miskonsepsi.
Sekali lagi, hal yang perlu digarisbawahi bahwa subtansi dari P5
tersebut, yaitu pengembangan karakter peserta didik. Bukan terjebak ke dalam
berbagai kegiatan acara yang justru bersifat seremonial yang menambah beban
kerja guru dan peserta didik tanpa mencapai tujuan yang diharapkan.
Kepala BSKAP Anindito Aditomo pada sebuah
video yang dibuat oleh BSKAP pun berpesan bahwa P5 tidak harus menghasilkan
produk, kegiatannya tidak harus berbiaya besar, dan tidak harus mengandalkan
teknologi. Ukuran keberhasilannya bukan terletak kepada kemeriahan acara atau
besarnya biaya yang dikeluarkan, tetapi pengembangan karakter yang dirasakan
oleh peserta didik. Hal ini yang perlu dicatat dan dijadikan patokan oleh
satuan pendidikan atau oleh guru.
Fakta empirik menunjukkan ada gejala
miskonsepsi dari P5 di satuan pendidikan, diantaranya;
- P5 identik atau didominasi oleh pagelaran seni,
menggunakan baju adat, menggunakan panggung, sound system, dan mengundang
orang untuk menontonnya. Hal tersebut tentunya memerlukan dana yang tidak
sedikit.
- Kegiatan P5 harus dipentaskan dengan label “panen
karya”, ”gelar karya”, “ekspo”, atau “eksebisi”. Hal ini juga tidak lepas
dari dana.
- Kegiatan P5 harus dilakukan oleh peserta didik secara
berkelompok, karena ada pandangan bahwa proyek adalah pekerjaan yang
dilakukan secara berkelompok.
- Dalam melaksanakan proyek, peserta didik harus
menyediakan alat dan bahan. Dan tentunya hal tersebut tidak lepas dari
biaya, walau bisa juga menggunakan barang bekas. Persiapan dan pelaksanaan
P5 dengan konsep yang seperti itu tentunya akan menguras waktu, biaya, dan
tenaga guru dan peserta didik.
Kegiatan-kegiatan tersebut hanya menjadi salah
satu alternatif, bukan satu-satunya alternatif kegiatan P5. Bagi satuan
pendidikan yang siap dengan SDM, anggaran, dan infrastruktur penunjangnya
silakan melaksanakan kegiatan P5 yang sifatnya gebyar, tetapi bagi satuan
pendidikan yang kemampuan dan daya dukungnya terbatas, maka boleh menyesuaikan
dengan situasi, kondisi, dan kemampuannya. Intinya, P5 jangan dibuat jadi beban
bagi satuan pendidikan dan ujungnya membebani peserta didik.
Satuan pendidikan atau guru dapat melakukan
kegiatan P5 yang mudah, murah, dan sederhana, tetapi tidak mengurangi maknanya.
Sekali lagi, kegiatan P5 jangan terjebak kepada kemasan yang gebyar, terkesan
wah atau wow, tetapi jauh atau kurang memperhatikan hakikat, inti, atau
substansinya, yaitu membangun atau mengembangkan karakter peserta didik
berdasarkan Pancasila. Akibatnya, keberhasilan penyelenggaraan sebuah acara
hanya menjadi keberhasilan semu saja, karena tidak menyentuh inti atau
substansinya, yaitu perubahan atau pengembangan karakter peserta didik.
Dampaknya, tujuan P5 tidak tercapai.
Guru dapat merancang kegiatan P5 bagi peserta
didik melalui aktivitas di rumah seperti pelaksanaan ibadah, membereskan tempat
tidur, membantu mencuci piring, mengepel lantai, menyiram tanaman, atau
pekerjaan rumah lainnya. Peserta didik bisa diarahkan untuk membuat proyek
pribadi seperti membuat kegiatan mandiri yang mencerminkan nilai-nilai
Pancasila, membuat prakarya, mengembangkan kreativitas dengan membuat satu
produk tertentu dengan memanfaatkan limbah atau barang bekas, membuat karya yang
menyampaikan pesan sosial-kemanusiaan, dan benda yang bermanfaat untuk
mengatasi masalah di rumah atau lingkungan tempat tinggalnya.
Peserta didik juga bisa diarahkan untuk
menyusun proyek sosial seperti membantu tetangga yang memerlukan bantuan, aktif
pada kegiatan karang taruna, berpartisipasi pada kegiatan gotong royong,
kegiatan sosial, kegiatan keagamaan, dan sebagainya. Poin utamanya, peserta
diarahkan untuk memiliki kecakapan hidup (life skill), tanggung jawab, peduli,
empati, rela berkorban, bermanfaat bagi sesama, dan sebagainya. Inilah
sejatinya manusia Pancasilais.
Teknisnya pelaksanaannya diserahkan kepada
setiap guru. Jangan terjebak kepada administrasi atau format-format yang
membuat P5 menjadi kaku. Padahal yang diharapkan adalah P5 dilaksanakan dengan
senang, gembira, membangun daya kritis dan kreatif peserta didik. Setiap guru
bisa menyusun rancangan pelaksanaan P5 beserta penilaiannya. Kemendikbud pun
sudah menyediakan pedoman pelaksanaan P5 sebagai bahan inspirasi dan bisa
diadaptasi oleh guru.
Penilaian P5 jangan terjebak kepada
angka-angka (kuantitatif), karena karakter adalah sebuah hal yang terus
berkembang bahkan memerlukan waktu yang relatif lama. Hasil P5 tidak bisa
diukur dengan tes. Keberhasilan P5 sebagai sebuah pendidikan karakter adalah
ketika nilai-nilai Pancasila sudah terinternalisasi ke dalam diri setiap
peserta didik dan tercermin dalam kehidupannya.
Penilaian P5 bisa dinilai melalui observasi,
catatan anekdot, jurnal, penilaian teman, atau instrumen refleksi diri. Gambaran
hasilnya misalnya mulai dari mulai berkembang, mulai terbiasa, konsisten,
hingga sudah membudaya disertai deskripsi keunggulan dan hal yang masih harus
dibina lebih lanjut. Mari jadikan P5 sebagai program substantif melalui cara
yang kreatif.
disadur dari berbagai sumber
0 Komentar